Kamis, 25 Februari 2010

HADIS TENTANG MACAM-MACAM JUAL-BELI YANG SAH dan TERLARANG

I. PEMBAHASAN
A. Mulamasah, Muhaqalah, dan Munabadhah
عن جابر رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المحاقلة, والمزابنة, والمخابرة, وعن ثنيا, إلا أن تعلم. (رواه الخمسة إلا ابن ماجه, وصححه الترميذي)
Artinya :
Dan dari Jabirin ra. : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang (jual beli) muhaqalah, muzabanah, mukhabarah, dan tentang tsun-yi, kecuali jika diketahui. (Diriwayatkan oleh lima rawi kecuali Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Tirmidzi).
1. Muhaqalah
Muhaqalah adalah jual-beli dengan cara memperkiran sewaktu masih di ladang atau di sawah. Jabir seorang perowi hadist mentafsirkan “Al-Muhaqalah”, bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli padi yang dilakukan oleh seseorang dari seseorang dengan harga 100 berbeda dari gandum, Abu Abid mentafsirkan bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli makanan, yaitu berupa benih. Dan Malik mentafsirkannya mengambil padi yang sebagian sedang tumbuh dan hal yang semacam ini (menurut Malik) adalah sama dengan mukhobaroh. Dan jauh lebih dalam mengenai tafsiran ini bahwasanya sahabat lebih mengetahui dengan tafsiran yang telah diriwayatkannya, dan telah ditafsirkan oleh Jabir dengan apa yang telah ia ketahui seperti yang telah diriwayatkan oleh syafi’i.
2. Muzabanah
Muzabanah diambil dari kata al-zaban dengan cara dibaca fathah za'nya dan menusukun ba' adalah pembayaran yang besar (borongan) seakan-akan setiap orang dari para pembeli membayar yang lain dari (harga) yang sebenarnya atau jual-beli borongan tanpa mengetahui takaran dan timbangannya. Dan Ibn Umar mentafsirkannya seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Malik dengan jual-beli kurma basah yang ditakar dengan takaran kurma kering dan jual-beli anggur basah yang ditakar dengan takaran anggur kering (diriwayatkan oleh Syafi’i).
3. Mukhabarah
Mukhabarah adalah jual beli secara perjanjian pengolahan tanah dengan bagi hasil tertentu antara pemilik tanah dengan seseorang yang mengolah tanah, dengan ketentuan bahwa benih diusahakan oleh si pemilik. Mukhabarah sama dengan muzara'ah dan muzara'ah ketentuan benih diusahakan oleh penggarap tanah. Hasil dari pengolahan tanah terebut dibagi dua antara pemilik tanah dengan penggarap. Tanah yang diolah tidak ikut dibagi, tetapi menjadi hak pemilik tanah. Hukum mukhabarah dan muzaraah adalah mubah, yaitu upaya untuk membangun ekonomi umat.
4. Jual-beli tsun-yi (belum diketahui)
Bahwasanya tsun-ya itu dilarang kecuali yang telah diketahui bentuknya menjual sesuatu dan mengecualikan sebagiannya. Kecuali jikalau sebagian telah diketahui maka jual beli tersebut disyahkan. Seperti menjual beberapa pohon atau anggur dan mengecualikan salah atu yang jelas maka jual beli yang seperti itu disyahkan. Kesepakatan Ulama’ mereka berkata kalau ada perkataan kecuali sebagiannya maka tidak syah karena pengecualian itu majhul (tidak diketahui). Dan jelasnya hadis itu adalah jika mengetahui ketentuan pengecualian maka syah secara muthlaq. Dan ada perkataan tidak syah sesuatu yang dikecualikan lebih dari 1/3. Bentuk ini di dalam pelarangan terhadap tsun-yi adalah al-juhalah (tidak diketahui), dan sesuatu yang belum diketahui maka tidak ada alasan karena telah keluar dari hukum pelarangan dan telah diperingatkan oleh nash dalam alasan (ilat) dengan ucapan “إلا أن تعلم ” (kecuali telah diketahui).
وعن أناس قال : نهى رسول الله صلى الله وسلم عن المحاقلة, والمخاضرة, والملا مسة, والمنابذة, والمزابنة. (رواه البخاري)
Artinya :
Dari Annas Berkata : Rasulullah SAW melarang (jual-beli) muhaqalah, mukhadharah, mulamasah, munabadzah, dan muzabanah. (H.R. Bukhari).
5. Mukhadharah
Adalah jual beli buah-buahan atau benih sebelum terlihat baik (matangnya). Dan telah terjadi ikhtilaf dalam Ulama’ dalam mengesyahkan jual-beli tersebut dari buah-buahan ataupun pertanian dan ada golongan yang mengatakan jikalau telah sampai batas diambil manfa'at darinya walaupun buah yang telah diambil belum matang dan belum tumbuh benihnya maka jual beli seperti ini syah dengan syarat yang putus (jikalau nantinya buahnya tidak tumbuh atau gagal panen maka jual-beli tersebut tidak jadi atau batal). Dan jikalau ada syarat kekal maka tidak syah secara kesepakatan karena syarat itu menurut Malik memberatkan (menyusahkan) pembeli atau karena syarat itu terjadi dua akad antara penjual dan pembeli di dalam sebuah akad adalah sewa-menyewa atau jual-beli, dan jikalau telah sampai batas diambil manfa'at dan belum tumbuh benih dan telah diambil buah yang belum matang maka jual beli tersebut shahih (keepakan ulama') kecuali adanya syarat yang kekal dari pembeli, maka ada perkataan : jual beli tidak dibenarkan dan dikatakan benar (syah) dan dikatakan jikalau ada waktu yang diketahui maka syah dan jikalau waktu terebut belum diketahui maka tidak syah walaupun telah sampai pengambilan manfa'at sebagian darinya tanpa sebagian yang lain maka jual beli itu tidak syah menurut pengikut hanafiah jual beli itu telah terputus dan tidak ada dalilnya.


6. Mulamasah
Dan diantaranya telah diriwayatka oleh Bukhori dari Al-zahro mulamasah adalah Seseorang memegang kain orang lain dengan tangannya pada malam hari atau siang hari tanpa membolak-baliknya, kecuali dengan cara itu dan diriwayatkan oleh Nasa’I dari hadis Abu Hurairoh. Mulamasah adalah seseorang berkata kepada orang lain saya menjual pakaianku dengan pakaianmu dan salah satu dari mereka tidak tidak melihat pakaian yang lain akan tetapi ia memegangnya.tatkala Ahmad meriwayatkan dari Abdurrazaq dari mu'amar mulamasah adalah memegang pakaian dengan tangannya dan tidak membentangkannya dan tidak membaliknya kalau telah memegangnya maka wajib terjadi jual beli dan Muslim dari hadis Abu Hurairah setiap salah satu dari mereka memegang pakaian temannya dari tanpa mengamat-amati (memperhatikan).
7. Munabadzah
Adalah seseorang melempar kain kepada oarang lain, dan orang lain ini balik melemparkan kainnya. Dan ditafsirkan seperti yang diriwayatkan Ibn Majah dari thariq Syufyan dari Zahra al-Munabadzah adalah seseorang berkata lemparlah sesuatu bersamamu kepadaku dan saya melempar sesuatu bersamamu kepadamu dan Nasa'I dari hadis Abu Hurairah berkata saya melempar seuatu bersamaku dan kamu melempar sesuatu bersamamu dan setiap salah satu dari mereka membeli dari yang lainnya dan setiap salah satu dari mereka tidak tahu berapa dengan yang lainnya. Dan Ahmad dari Abdurrazaq dari Mu'amar Al-munabadzah kalau pakaian telah dilempar maka wajib ada jual-beli dan Muslim dari hadis Abu Hurairah munabadzah adalah setiap salah satu dari mereka melempar pakainnya kepada yang lainnya dan salah satu dari mereka belum melihat pakaian temannya dan diketahui dari perkataannya : "maka wajib jual-beli" sesungguhnya jual-beli mulamasah dan munabadzah adalah menjadikan di dalamnya seseorang memegang atau melempar dengan tanpa adanya aqad maka telah jelas pelarangan yang diharamkan.
عن أبى سعيد الخدري, قال : نهي رسول الله صلى الله عليه وسلم عن لباستين وعن بيعتين : نهى عن الملامسة والمنابذة فى البيع : والملامسة لمس الرجل ثوب الأ خر بيده باليل أر باالنهار ولا يقلبه الا بذلك, والمنابذة أن ينبذ الرجل الى الرجل بثوبه وينبذ الأخر ثوبه, ويكون ذلك بيعهما من غير نظر زلا تراض. واللباستين : اشتمال الصماء : والصماء أن يجعل ثوبه على أحد عاتقيه, فيبدو أحد شقيه ليس عليه ثوب, واللباسة الاخرى احتباؤه بثوبه وهو جالس ليس على فرجه منه شئ. (رواه البخرى)
Artinya :
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, di mana ia berkiata : Rasulullah SAW melarang dua cara berpakaian dan jual beli. Berliau melarang secara mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. Mulamasah ialah : seseorang memegang kain orang lain dengan tangannya pada malam hari atau siang hari tanpa membolak-baliknya, kecuali dengan cara itu. Munabadzah ialah : seseorang melemparkan kain kepada orang lain, dan orang lain ini balik melemparkan kainnya. Dengan demikianlah terjadi jual-beli diantara keduanya dengan tanpa melihat (barang) dan tanpa ada persetujuan. Sedang dua cara berpakaian, ialah : meletakkan kain atas satu pundak, sedang pundak yang sebelah tidak ditutupi maka terbukalah salah satu lambungnya. Cara berpakaian yang lain, ialah duduk memeluk lutut, sedang ia dalam keadaan duduk, yang pada kemaluan (kelamin)-nya tidak ada tutup apapun. (H.R. Bukhari).
B. Jual Beli Ijon dan jual beli ghoror
وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال : نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن تباع ثمرة حتى تطعم, ولا يباع صوف على ظهر, ولا لبن فى ظرع (رواه الطبراني فى الأوسط, والدارقطني)
Artinya :
Dan dari Ibn Abbas ra. Berkata : Rasulullah SAW melarang menjual buah kecuali telah matang, dan wol tidak boleh dijual (yang masih melekat di) punggung (domba), dan susu tidak boleh dijual (yang masih berada) di dalam tetek hewan.

1. Jual beli ijon
Bahwasanya di dalam islam dilarang jual beli ijon yaitu jual beli pembayaran uang di muka sebelum uang yang akan dijualnya siap dijual, dengan pembayaran jauh lebih murah dari harga yang semestinya, karena pemilik barang sangat membutuhkan uang tersebut. Jual beli system ijon dilarang oleh Rasulullah melalui hadisnya :
عن أناس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الثمرة حتى تزهي, قالوا وما تزهي قال تحمر(رواه مسلم)
Artinya :
Dari Annas Ibn Malik bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan kecuali telah masak (waktunya dipanen). Para sahabat bertanya : Bagaimana yang telah masak itu?. Nabi menjawab : Jika telah memerah (HR Musalim).
2. Jual beli ghoror
Jual beli ghoror adalah jual-beli barang yang tidak dapat dipegang atau diraba. Dimisalkan dalam hadis di atas penjualan wol yang masih melekat di punggung domba. Dan penjualan susu yang masih ada di dalam tetek hewan (sapi, dll).
Jual-beli ghoror dilarang karena menyebabkan penyesalan bagi pihak pembeli. Kerena barang yang dijual masih belum jelas baik atau buruknya barang terebut. Kalau menjual wol, wol tersebut harus sudah terpisah dari domba dan tidak lagi berbentuk bulu. begitu pula penjualan susu. Susu tersebut harus sudah diperas. Maksudnya jual beli itu syah apabila dimiliki secara penuh.
و عن بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تشتروا السمك فى الماء, فإنه غرار (رواه أحمد) واشار إلى أن الصواب وقفه.



Artinya :
Dari Mas’ud berkata : Rasulullah SAW bersabda : janganlah kamu membeli ikan yang masih ada di dalam air, maka sesungguhnya penjualan tersebut adalah “ghoror”. (HR Ahmad)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تبيعن شياء اشتريته حتى تقبضه (رواه أحمد وبيهقى)
Artinya :
Bahwa Rasulullah SAW bersabda : janganlah kamu menjual sesuatu yang baru saja engkau beli, sehingga engkau menerimanya secara penuh (HR Baihaqi)
C. Jual Beli Wafa’
Jual beli wafa' adalah jual beli bersyarat. Yaitu seseorang menjual barang dengan harga 400 dengan memberikan syarat kepada pembeli berupa perkataan : "nanti barang ini jangan dijual kepada siapapun, nanti kalau sudah tiga bulan akan saya beli lagi dengan haraga 500".
Dari kasus ini menurut fuqaha' ada unsur riba, karena ada perjanjian awal yang memberikan syarat kepada pembeli dengan membeli lagi barang yang dijual dalam batas waktu dengan harga yang lebih.

II. KESIMPULAN
Dari makalah ini penulis dapat menarik kesimpulan bahwasanya jual beli yang mengandung spekulasi yang tinggi dan segala jual beli yang belum diketahui adalah dilarang dalam islam karena jual beli yang demikian dapat mengakibatkan kerugian dan penyesalan salah satu pihak. Esensi jual beli di dalam islam adalah kegiatan saling tolong menolong antara penjual dan pembeli bukan hanya untuk memperoleh keuntungan semata. Tetapi juga harus dilihat kemanfaatan dan kemaslahatan. Seperti dalam Firman Allah SWT :
وتعاونوا علىالبر و التقوى ولا تعاونوا علىالإثم والعدوان (


Artinya :
Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Ahmad Atho, Muhammad, Subul As-salam, Dar Al-kutub Al-alamiyah, Beirut, Lebanon, 1988
Fuad Abdul Baqi, Muhammad, Al-lu'lu' wal Marjan, Al-ridha, Semarang, 1993
Bahreisj, Husein, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Al-ikhlas, Surabaya, 1987
Muhammad bin Ahmad Al-muhalli, Halaluddin, Hashyiyatani Qulyubi wa Umairah, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1995

MENGGUSUR TANAH RAKYAT UNTUK KEPENTINGAN UMUM

A. PENDAHULUAN
Pembangunan ternyata dapat menimbulkan ekses. Diantaranya yang cukup serius dan merugikan kepentingan rakyat, adalah penggusuran tanah untuk kepentingan pembangunan. Dalih penggusuran tersebut biasanya untuk kepentingan umum. Tetapi, tak jarang diktum kepentingan umum itu adalah selubung saja untuk menutupi kepentingan beberapa oknum tertentu. Hal ini diperparah lagi oleh kenyataan bahwa ganti rugi penggusuran biasanya tidak sesuai dengan yang dikehendaki rakyat. Yang akan diteliti dalam karya ilmiah ini adalah bagaimana hukum menggusur tanah untuk kepentingan umum? Dan bagaimana cara terbaik untuk menentukan ganti rugi penggusuran menurut fiqih?.

B. PEMBAHSAN
1 Pendapat Ulama’
Ketika Umar r.a. diangkat sebagai khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, ia memperluas masjid dengan memebeli rumah dan dirobohkannya. Kemudian ia menambahkan perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk yang berada di sekitar masjid yang enggan untuk menjualnya. Umar r.a kemudian memberikan harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. Umar r.a membangun dinding yang pendek kurang dari tinggi manusia, dan memasang lampu-lampu. Umar r.a adalah orang yang pertama kali membuat dinding untuk masjid.
Ketika Usman r.a diangkat sebagai khalifah, ia kemudian membeli rumah-rumah dan dipergunakan untuk memperluas masjid. Ustman r.a mengambil rumah-rumah penduduk dan menetapkan harganya. Mereka kemudian berdemo di kediamannya. Ustman r.a kemudian berkata ; “Sesungguhnya kesabarankulah yang membuat kalian berani terhadapku, sesungguhnya hal ini sudah pernah dilakukan oleh Umar terhadap kalian, dan kalian menyetujuinya”. Kemudian Ustman r.a memerintahkan untuk memenjarakan mereka sehingga Abdullah bin Khalid Asad mendiskusikannya, dan akhirnya ia melepaskan mereka. (Al-akhkam As-sulthaniyah lilmawardi : 162)
Jadi sesungguhnya kepentingan umum itu didahulukan di atas kepentingan khusus, mengingat hukum dasar pada mereka adalah amanat. Adapun jika dipaksa untuk menjual dengan pemaksaan yang halal, maka penjualannya sah sebagaimana pemaksaan menjual tanah untuk perluasan masjid, jalan umum atau kuburan. (Hashyiyatuddusyuqi 3 : 8)
Boleh mengambil tanah, rumah atau toko berada di samping masjid dengan memberikan ganti rugi dengan paksa. (Raddul Mukhtar 3 : 384)
2 Pilihan Pendapat
Hukum penggusuran tanah demi kepentingan umum (al-maslahah al-amanah) boleh, dengan syarat betul-betul pemanfaatannya oleh pemerintah untuk kepentignan umum yang dibenarkan oleh syara’ dan dengan ganti rugi yang memadai.
Cara yang terbaik dalam menentukan ganti rugi penggusuran tanah menurut fiqih ditempuh melalui musyawarah atas dasar keadilan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
3 Dasar Hukum
Dasar hukum menggusur tanah rakyat untuk kepentingan umum adalah maslahat mursalah. Maslahat mursalah dalam hal ini menggunakan pendekatan sifat munasib yaitu yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Karena menguatkan diterapkannya dalil maslahat mursalat ialah praktek-praktek para sahabat dalam berbagai hal karena alasan maslahat secara mutlak, bukan karena adanya dalil yang menunjukkan hukum mengenai hal tersebut.
Menggusur tanah untuk kepentingan umum yang pernah dilakukan oleh Umar r.a dan Ustman r.a yaitu untuk memperluas halaman masjid ketika dirasakan sudah terlalu sempit, jelas sekali bahwa di sini untuk kemaslahatan agar masjid dapat menampung jamaah yang hendak beribadah di dalamnya, walaupun ganti rugi tanah tersebut sudah ditetapkan dengan paksa. Hal ini juga berlaku untuk kepentingan umum lainnya, seperti pelebaran jalan, bandara, pembuatan bendungan.
4 Kaedah Fiqih
الأمور بمقاصدها
Segala urusan tergantung kepada tujuannya
Niat yang tergantung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. Apabila niat penguasa atau pemerintah mengambil tanah rakyat dengan menetapkan harganya dengan paksa benar-benar untuk kepentingan umum, maka hal itu diperbolehkan mengingat hukum dasar bagi mereka adalah amanat. Menurut istilah fuqaha’ hal ini masuk pada uqud, uqud itu ialah :
ارتباط ايجاب بقبول على وجه مشروع يظهر أثره فى محله
Perikatan ijab dan qabul secara yang disyari’atkan agama nampak bekasnya pada yang diakadkan itu.
Uqud yang menjadi sebab kepemilikan ini ada dua, yaitu :
a. Uqud jabariyah : akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan kepada putusan hakim, seperti menjual harta orang yang berhutang secara paksa.
b. Uqud Istimlak untuk maslahat umum. Umpamanya tanah-tanah yang disamping masjid, kalau diperlukan oleh masjid harus dapat dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya. Ini dikatakan tamalluk bil jabari (pemilikan dengan paksa).
Akan tetapi, jikalau mengambil tanah rakyat dengan dalih untuk kepentingan umum padahal kenyataannnya atau niatnya tidak untuk kepentingan umum, supaya ia dapat membeli tanah rakyat dengan harga murah, maka hal itu tidak diperbolehkan karena itu telah menyalahgunakan amanat. Hal ini masuk pada khalafiyah, menurut istilah fuqaha’ khalafiyah ialah :
حلول شحص أو شئ جديد محل قديم زائل فى الحقوق
“Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru di tempat yang lama yang telah hilang, pada berbagai macam rupa hak”.
Khalafiyah ini ada dua macam :
a. Khalafiyah syakhsy ‘an syakhsy dan itulah yang dikatan irts (waris) dalam istilah kita.
b. Khalafiyah syai’ an syaiin dan itulah yang dikatakan tadlmin atau ta’widl (menjamin kerugian). Apabila penguasa mengambil tanah rakyat dan merobohkan bangunan mereka di atasnya dengan niat tidak untuk kepentingan umum maka dalam keadaan ini wajiblah ia mengganti kerugian rakyat itu dengan harga yang pantas dan diganti kerugian-kerugian si pemilik harta sebagai iwadh atau tadlmin.

C. KESIMPULAN
Bahwa hukum menggusur tanah demi kepentingan umum (al-maslahah al-amanah) boleh, dengan syarat betul-betul pemanfaatannya oleh pemerintah untuk kepentignan umum yang dibenarkan oleh syara’ walaupun dengan ganti rugi secara paksa. Akan tetapi, alangkah baiknya dalam menentukan ganti rugi penggusuran tanah menurut fiqih ditempuh melalui musyawarah atas dasar keadilan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Dasar hukum menggusur tanah rakyat untuk kepentingan umum adalah maslahat mursalah. Maslahat mursalah dalam hal ini menggunakan pendekatan sifat munasib yaitu yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Karena menguatkan diterapkannya dalil maslahat mursalat ialah praktek-praktek para sahabat dalam berbagai hal karena alasan maslahat secara mutlak, bukan karena adanya dalil yang menunjukkan hukum mengenai hal tersebut.
Niat yang tergantung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. Sesuai dengan kaidah fiqih “al-umuru bimaqasidiha” bahwa segala urusan tergantung pada tujuannya. Apabila niat penguasa atau pemerintah mengambil tanah rakyat dengan menetapkan harganya dengan paksa benar-benar untuk kepentingan umum, maka hal itu diperbolehkan mengingat hukum dasar bagi mereka adalah amanat. Menurut istilah fuqaha’ hal ini masuk pada uqud Istimlak untuk maslahat umum. Umpamanya tanah-tanah yang disamping masjid, kalau diperlukan oleh masjid harus dapat dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya. Ini dikatakan tamalluk bil jabari (pemilikan dengan paksa).

D. PENUTUP
Demikianlah karya ilmiah ini disusun. Penulis sadar bawa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun demi sempurnanya karya ilmiah ini.







DAFTAR PUSTAKA

Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama’), Khalista, Surabaya, 2004
Yahya, Mukhtar, Prof., Dr., H., dan Rahman, Fathur, Drs., Dasr-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, P.T. Al-ma’arif, bandung, 1986
Zahra, Muhammad Abu, Prof., Penerjemah : Saefullah Ma’sum, Slamet Basyir, Mujib Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, dan Ali Zawawi, Ushul Fiqh, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Habsyi, Pengantar Fiqih Muamalah, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997

Kamis, 18 Februari 2010

NIKAH MUTH'AH


I. PENDAHULUAN

Al-hamdulillah dalam matakuliah fiqih munakahat kami mendapatkan tugas untuk membahas tentang "nikah muth'ah". Bahwasanya nikah muth'ah itu peninggalan zaman jahiliyah. Nabi SAW pernah memperbolehkan sahabatnya melakukan nikah muth'ah pada waktu peperangan. Kemudian setelah itu Beliau SAW melarangnya. Nabi memperbolehkan nikah muth'ah karena keterpaksaan dalam peperangan, itupun hanya berlasung selama tiga hari.[1] Untuk lebih jelasnya pemakalah akan menerangkan masalah ini secara terperinci.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah Muth'ah

Nikah muth'ah adalah ikatan seeorang laki-laki dengan seseorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula.[2]

Menurut imam-imam madzhab di dalam kitab mereka, nikah muth'ah adalah pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah diketahui atau tidak, kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari, kemudian nikah itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan satu kali haidh atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Dan selama 4 bulan 10 hari pada wanita yang ditinggal mati suaminya, dan hukum nikah tersebut bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris, tidak ada I'ddah kecuali meminta lepas menurut yang ia ingat, dan tidak ditetapkan nasab.[3]

Dari definisi tersebut bahwasanya perkawinan yang seperti ini terjadi kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Bahwa nikah itu adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia.[4] Seperti Firman Allah :

والله جعل لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من ازواجكم بنين وحفدة (النحل : )

Artinya :

Allah telah menjadikan jodoh bagimu dari jenismu sendiri (laki-laki dan perempuan), dan dari perjodohanmu itu anak-anakmu. (An-nahl : 76)

يايهاالناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهارجالا كثيرا ونساء (ألنساء :1 )

Artinya :

Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-nisa' : 1)

B. Tharikh nikah Muth'ah

Nikah muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan.

Rahasia diperbolehkan nikah muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka etelah islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipoternkan kemaluannya. Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :

عن بن مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام وليس معنا نساء فقلنا : ألا نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن ذالك. ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.

Artinya :

Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu.

Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga hari setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :

وعن سلمة بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة, ثلاثة أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )

Artinya :

Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya (HR Muslim)

Dari hadis Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya Rasulullah pernah memperbolehkan nikah muth'ah kemudian melarangnya dan menasah rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar kemudian diharamkannya dalam perang khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun Authas), setelah itu nikah muth'ah diharamkan selama-lamanya, sehingga terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW :

وعن علي رضي الله تعالى عنه قال : نهى رسول الله صام عن المتعة عام خيبر (متفق عليه)

Artinya :

Dari Ali ra. berkata : Rasulullah melarang nikah muth'ah pada tahun Khaibar.

وعن ربيع بن سبورة, عن أبيه رضي الله عنه, أن رسول الله صام قال : إنى كنت أذنت لكم الإستمناع من النساء, وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة (أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وأحمد وابن حبان)

Artinya :

Dari Rabi' bin Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari wanita, dan sesungguhnya Allah SAW telah mengharamkan itu sampai hari kiamat (HR Muslim, Abu Daud, Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah)[5]

C. Pendapat Para Ulama' Tentang hukum Nikah Muth'ah

1. Jumhur Ulama'

Kebanyakan dari para shahabat dan semua Ulama'-Ulama' fiqih mengharamkan nikah muth'ah berdasarkan hadist Rasulullah yang mutawatir tentang pengharaman nikah tersebut. Yang menjadi ikhtilaf dikalangan mereka adalah waktu pengharaman nikah muth'ah. Dari ebagian riwayat yang mengharamkannya pada perang khaibar, ada yang sebagian pada penaklukan Makah, ada yang sebagian pada waktu perang Tabuk, ada yang sebagian pada haji wada', ada yang sebagian pada umrah qadha' dan ada sebagian pada waktu tahun Authas.

2. Ibn Abbas

Yang telah terkenal bahwasanya Beliau menghalalkan nikah muth'ah. Ibn Abbas ini mengikuti pendapat dari ahli Makah dan Ahli Yaman, mereka meriwayatkan bahwasanya Ibn Abbas dalam Firman Allah :

فَمَااسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَأُتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ (النساء : )

Artinya :

Maka istri-istri yang telah kamu ni'mati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagaian sebagai kewajiban dan tiada dosa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar. (An-nisa' : 24)

Dan pada suatu huruf darinya (ibn Abbas) sampai batas waktu yang ditentukan, diriwayatkan darinya sesungguhnya dia berkata : "muth'ah (bersenang-senang terhadap istri) tidak lain adalah rahmat dari Allah Azza Wa Jalla, Dia telah memberikan rahmat kepada umat Muhammad SAW berupa muth'ah, dan Umar tidak melarangnya karena dalam keadaan terpaksa takut untuk zina kecuali bagi yang impoten. Dan ini diriwayatkan dari Ibn Abbas rawi darinya Jarih, Umar, dan Ibn Dinar. Dari Atha' ia berkata : saya mendengar jabir bin Abdillah berkata : kami melakukan nikah muth'ah sejak masa Rasulullah kemudian kepemimpinan Abu Bakar, dan setengah dari kepemimpinan Umar kemudian setelah itu Umar melarang muth'ah kepada semua manusia (umat muslim).[6]

D. Pendapat Pemakalah Tentang Hukum Nikah Muth'ah

Kami sebagai pemakalah menetapkan bahwasanya hukum melakukan nikah muth'ah adalah "haram". Karena dari sejarah nikah muth'ah (asbab al-furud) sudah jelas. Pertama-tama nikah muth'ah diperbolehkan pada perang penaklukan kota Makah dan perang Khaibar, tapi setelah itu Rasulullah melarang nikah muth'ah atau menasakh rukhshahnya selama-lamanya sampai hari kiamat. Maka dari itu kesimpulannya bahwa nikah muth'ah itu "haram" selama-lamanya.

Menurut kami nikah muth'ah itu seperti pelacuran atau seks komersial pada saat sekarang ini. Seseorang datang, memesan, dan melakukan hubungan seks, setelah itu membayar, dan pulang. Jadi barang siapa melakukan nikah muth'ah sama juga melakukan perzinaan walaupun dalam keadaan terpaksa.

من استمنع من النساء فزنى

"Barang siapa yang melakukan muth'ah maka ia telah berzina"

III. KESIMPULAN

Dari makalah yang penulis susun, penuli dapat menarik kesimpulan, bahwasanya nikah muth'ah adalah ikatan antara laki-laki dan perempuan dalam batas waktu yang ditentukan dan mahar yang ditentukan pula. Nikah muth'ah terjadi dalam islam hanya selama 3 hari pada tahun authas. Kemudian setelah itu Rasulullah SAW melarangnya pada perang Khaibar. Kemudian dibolehkan lagi pada penaklukan Makah (tahun Authas) setelah itu dilarang selama-lamanya. Sehingga setelah pelarangan itu sudah tidak ada nikah muth'ah sampai hari kiamat. Dari peristiwa tersebut banyak dari shabat dan ahli fiqih mengharamkan nikah muth'ah.

IV. PENUTUP

Demikianlah makalah yang penulis susun, semoga memberikan manfa'at bagi para pembaca. Penulis sadar bahwasanya makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka daari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.

Penulis

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Yasin, Fatihuddin, Risalah Hukum Nikah, Terbit Terang, Surabaya, 2005

Yusuf Qardhawi, Muhammad, Halal dan Haram Dalam Islam, Himpunan Belia Islam Suingapura, 1980

Abdul Qadir Ahmad Atha, Muhammad, Subul As-salam, Dar Al-kitab, Beirut, Lebanon, 1988

Al-walid, Abu bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, Bidayat Al-mujtahid, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1995



[1] Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Terbit Terang, surabaya, 2005, hlm. 63-64

[2] Syeikh M. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Himpunan Belia Islam, Singapura, 1980, hlm. 256

[3] Muhammad Abdul Qadir Ahmad Atho, Subul As-salam, Dar Al-kitab, Beirut, Lebanon, 1988, hlm. 243

[4] Syeikh M. yusuf Qardhawi, Op. Cit., hlm. 244

[5]Muhammad Abdul Qadir Ahmad Atho, Op. cit., hlm. 244

[6] Abu Al-walid Muhammad bin Ahmad bin muhammad bin Ahmad, Bidayat Al-mujtahid, Dar Al-fikr, Beirut Lebanon, 1995, hlm.47